Aceh berkembang setelah Malaka diduduki Portugis pada 1511. Mengingat sebagian besar para pedagang beragama Islam maka mereka pindah dari Malaka ke Aceh. Faktor lain adalah jatuhnya Samodera Pasai ke tangan Portugis (1521), sehingga menambah keramaian Aceh. Pada tahun 1530, Aceh melepaskan diri dari kerajaan Pedir pada 1520 dan berdirilah Kerajaan Aceh dengan Sultan Ali Mughayat (1514-1528) sebagai raja pertama.
Politik Kerajaan Aceh
Kerajaan Aceh mengalami puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Sultan bercita-cita menjadikan Aceh sebagai kerajaan besar dan kuat. Untuk itu, kerajaan-kerajaan di Semenanjung Malaka harus ditaklukkan, yakni Pahang, Kedah, Perlak, Johor dan sebagainya.
Pengganti Sultan Iskandar Muda ialah Sultan Iskandar Tani (1636-1641). Setelah itu Aceh terus mengalami kemunduran, karena tidak terdapat sultan yang kuat. Kerajaan Aceh tidak mampu bersaing dengan Belanda, yang menguasai Malaka pada tahun 1641.
Kehidupan Ekonomi Kerajaan Aceh
Kehidupan ekonomi masyarakat Aceh adalah dalam bidang pelayaran dan perdagangan. Pada masa kejayaannya, perekonomian berkembang pesat. Penguasaan Aceh atas daerah-daerah pantai barat dan timur Sumatra banyak menghasilkan lada. Sementara itu, Semenanjung Malaka banyak menghasilkan
lada dan timah. Hasil bumi dan alam menjadi bahan ekspor yang penting bagi Aceh, sehingga perekonomian Aceh maju dengan pesat.
Kehidupan Sosial Budaya Kerajaan Aceh
Dalam masyarakat Aceh terdapat dua kelompok sosial yang saling berebut pengaruh yakni Golongan Teuku dan Golongan Tengku. Golongan Teuku adalah kaum bangsawan yang memegang kekuasaan sipil, sedangkan golongan Tengku adalah kaum ulama yang memegang peranan penting dalam bidang sosial keagamaan.
Sementara itu di dalam golongan agama terdapat dua aliran yang saling bersaing, yaitu Syiah dan Sunnah wal Jama’ah. Pada masa Sultan Iskandar Muda, aliran Syiah berkembang pesat. Tokoh aliran ini ialah Hamzah Fansuri, yang kemudian diteruskan oleh Syamsuddin Pasai. Setelah Sultan Iskansar Muda meninggal, aliran Sunnah wal Jama’ah yang berkembang pesat.
Tokoh aliran ini adalah Nuruddin ar Raniri yang berhasil menulis sejarah Aceh dengan judul Bustanus Salatin, yang berisi adat istiadat Aceh dan ajaran agama Islam. Peninggalan budaya Islam yang cukup menonjol adalah bangunan Masjid Baitturachman yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Masjid Baitturachman sudah mengalami beberapa kali renovasi dan penambahan kubah pada tahun 1935 dan 1958.
Kesimpulan
Sultan Iskandar Muda memiliki cita-cita menjadikan Aceh sebagai kerajaan besar dan kuat. Untuk mencapai tujuannya, Sultan Iskandar Muda menaklukkan beberapa kerajaan di Semenanjung Malaka seperti Pahang, Kedah, Perlak, Johor dan sebagainya. Namun, setelah Sultan Iskandar Muda wafat, penggantinya, Sultan Iskandar Tani (1636-1641) tidak mampu mempertahankan kekuasaan Kerajaan Aceh.
Akibatnya, Kerajaan Aceh terus mengalami kemunduran dan tidak mampu bersaing dengan kekuatan Barat seperti Belanda yang pada tahun 1641 berhasil menguasai Malaka. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa perkembangan Kerajaan Aceh sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor politik dan sejarah yang terjadi di wilayah sekitarnya.